Mbah Giyo
Jadi begini…
Terhitung sejak tadi
malam kami tinggal berdua,
Kebetulan suami ada
pekerjaan di Surabaya.
Seperti biasa, kalau
ditinggal suami aku tidur di kamar gendhuk.
Jam Sembilan aku
berangkat tidur.
Lepas jam 12 aku
bangun, rutinitas ngetik.
Aku ke meja kerja kamar belakang.
Letak rumahku
itu, diapit makam besar.
Kalau buka pintu dapur
dan lalu tengok ke kanan,
terpapanglah deret
kuburan, hanya 10 meter jaraknya.
Nah, sebelah timur
rumah, cukup jalan 5 menit juga makam besar.
Mengerikan??? Ga juga.
Kami seperti telah
bersahabat…
Dan ‘mereka’ bahkan
seperti memberi tanda ketika bakal ada orang ‘berpulang’.
Yang paling bisa paham
akan tanda itu, salah satunya Make.
Aku tidak.
Kata Make (pengasuh
anakku itu) bila lepas tengah malam terdengar suara ‘bug’ seperti suara kelapa
jatuh disertai desau angin yang sembribit,
esoknya pasti masjid
umumkan kematian.
Di belakang rumahku
masih ada satu rumah, setelahnya kali besar dan dalam.
Model kali itu seperti
jurang, kalau lagi banjir gemuruh airnya terdengar sampai rumah.
Agak-agak gimana gitu,
tapi sensasinya hmmm…
Jalan menuju kali
masih terdapat banyak rumpun bambu yang
sihat.
Banyangkan kalau malam
hari, pas sepi, ada angin menderak…
Gesekan daun bambu
yang …kreseeeek, kresekkk,
dan batang bambu yang
krengkeeet…krengkeet, pasti membuat bulu kuduk berdiri.
Wis kaya pilem-pilem
horror lah.
Dan kebetulan juga, di
lingkunganku itu banyak rumah kuna yang tak berpenghuni.
Kalau pun ada, yang
menghuni sudah sangat manula.
Pun belakang rumahku
itu. Rumah besar, pinggir kali, dikelilingi rumpun bamboo dan makam.
Rumah itu milik Mbah
Giyo.
Pemilik rumah sudah kuanggap orang tuaku. Kami sangat akrab.
Pemilik rumah sudah kuanggap orang tuaku. Kami sangat akrab.
Karena sudah sepuh,
mbah Giyo dan istri, ditemani cucu dan cicitnya.
Ada yang menarik dari
Mbah Giyo. Orangnya polos, jujur, dan njawani.
Perkara ke-jawaan, dia
jagonya.
Anak-anak lingkunganku
kalau ada Pe Er nulis jawa, larinya ke mbah Giyo…termasuk anakku. Aku juga
pernah diajari ning ora iso-iso.
Bab nembang, yang
mocopat dan teman-temannya, mbah Giyo jago juga.
Setiap pagi dan sore
sembari ngeteh di teras rumah, selalu rengeng-rengeng.
Kadang Dhandhangula,
megathruh, dan yang paling sering kudengar Mijil.
Nah…
Tadi malam, lepas jam
12 aku tik tok.
Belakang rumah kok
gemuruh.
Aku buka
jendela….ternyata temen-temen cucu mbah Giyo -yang pengawai PLN-
kumpul ambil alat.
Ketika kutanya, katanya ada trafo yang terbakar.
Wah lumayan ini ada
teman melek.
Jendela tetap
kubiarkan terbuka.
Sebelum mulai ngetik
aku sempat tengok ke kanan, dan lihat temaram kuburan.
Bulan memang masih
malu-malu.
Sesaat aku tenggelam
ngetik.
Situasi luar dah ga
begitu kuperhatikan.
Sampai akhirnya sepi
kembali.
Aku dengar mbah Giyo
rengeng-rengeng dhangdhangula-an.
‘Dedalane wong akrami…
Dudu bandha duru rupa
Among ati pawitane….
……’
Aku hentikan
kegiatannku, menikmati suara mbah Giyo.
Tembang itu memang
filosofinya tinggi.
Ah…tiba-tiba keingetan
almarhum bapak.
Dulu pernah bilang
begini…
‘Golek bojo kuwi rak
perlu bagus, ning nek dijak nyumbang ya aja ngisin isini..’
(mencari suami itu tak
perlu ganteng, tapi kalau digandheng di resepsian, ya jangan memalukan)
Intinya ora bagus ora
apa-apa, ning bisa dipamerkan…he..he…
Syarat yang akhirnya
bisa tak penuhi.
Sesaat setelah usai
dhandhangula…
Suasana timtrim sepi..
Jendela masih terbuka.
Tak lama…
Terdengar lagi
rengeng-rengengnya.
Megatruhan…terasa
menyayat.
Kenapa mbah Giyo
begini sedih ya..
Apa gerah lagi?
Aku tengok keluar.
Tampak mbah giyo duduk
slonjor di kursi panjang.
Tidak begitu jelas
karena lampunya hanya temaram.
‘Pun dalu kok dereng
sare, Mbah?’
Tak ada jawaban.
Barangkali ga dengar,
karena pendengarannya memang telah jauh berkurang.
Oleh karena makin
sembribit jendela aku tutup.
Pas mak krekep…
Kok ada yang memanggil
‘Nduk….’ Lirih sekali.
Tanpa prasangka, aku
buka lagi jendelanya.
Kupikir mbah Giya yang panggil.
Tak tengok, kursi
sudah kosong.
Kututup lagi jendela,
dan aku lanjutkan ngetik.
Pagi tadi, kutanyakan
pada cucunya.
‘Kok mbahe lenggah
neng ngarep nganti wengi to nduk?’
‘Sinten Mbak?’
‘Yo Mbah Giyo to, nduk?’
‘Mboten Mbak…wong
Mbahe radi gerah…bibar isya’ pun sare’
Deg…
Berdiri bulu
kudukku, mrinding…
La tadi malam sing
rengeng-rengeng sapa?
Sing lungguh slonjor
ning kursi?????
Malah semrepet aku.
Padahal lima hari ke
depan suami baru pulang.
Njur sapa iki sing
arep ngancani??????
waduh ... saya kok gegremetan eh gemetaran buk maos tulisan njenengan .... ada manis2 nya namun diakhir mendadak sepat dan ingin segera cari minum heeee serem
ReplyDeletepp.adnan al charish bojonegoro