Sunday, May 1, 2016

Katresna, kesetiaan itu indah dan membanggakan


#Katresnan
Baru saja lelaki baya itu pamit.
Aku masih terpana dengan apa yang disampaikan.
‘Benjang Sabtu kula badhe nikah, Bulik…’ katanya riang.
Sembari sembunyikan keterkejutan, santun aku sampaikan,
‘Alhamdulillah, nderek bingah , Pakdhe.’
‘Benjang Om kalian Bulik kula suwun ngetaraken’
‘Insya allah, Pakdhe…mangke kula derekaken.’
Kemudian percakapan merembet pada acara dan persiapan nikah.
Lelaki baya itu, memutuskan Nikah lagi setelah isterinya meninggal.
Sejenak aku tercenung.
Ya…menikah di usia senja.
Aku berusaha pahami. Pernikahan ini barangkali tak sekadar urusan cinta.
Kesenjaan bagi sementara orang acap dekat dengan sepi.
Saat anak-anak telah berumah tangga, jauh dari rumah,
kesehatan mulai turun, Pasti terasa sekali kesendirian itu.
Menjadi wajar kalau akhirnya butuh teman.
Barangkali itulah yang dirasai Pakdhe, hingga putuskan untuk menikah lagi.
…………………………………..
Tiba-tiba lelaki dan perempuan sepuhku seperti hadir.
Simbok dan Bapak.
Simbok yang perempuan Bardiyem.
Bapak yang lelaki Harjo Sayoto.
Masih segar dalam ingatan.
Bagaimana lelaki Harjo Sayoto itu demikian setia
tunggui  perempuan Bardiyem yang sakit.
Setiap hari rajin mijeti, rengeng-rengeng, dan bahkan bercanda di pendapa rumah kami.
Mereka memutuskan tidak tidur di kamar. Sumpek katanya.
Di pendapa itulah…sambih pijetan mereka mengenang masa rekasa-nya.
Dalam sakitnya yang makin parah,
perempuan Bardiyem itu memaksakan tersenyum oleh candaan suaminya.
‘La kowe ki piye to Sri…wayah bocah-bocah wis mapan kok malah lara’
‘Sri’ adalah sebutan sayang mereka. Dan itu adalah nama kakak tertuaku.
Dalam keseharian, mereka saling sapa dengan sebutan Mbokne Sri dan Pakne Sri.
Hingga suatu saat…
Kala  perempuan Bardiyem membisikkan sesuatu,
‘Paak…aku wis ora kuat….’
Lelaki Harjo Sayoto duduk di sisi ranjang sejurus dengan kepala istrinya.
Ditatap lembut mata sayu ibu dari 11 anaknya.
Pelang diusap  rambut dan lembut dicium keningnya.
Dibisiknya kalimat…yang sampai kini membuatku meriding.
‘Atine ditata ya…awake dewe wis tuntas ngentaske bocah-bocah.’
Perempuan Bardiyem mengangguk lemah, tersenyum tipis.
‘Aku wis iklas…..’
Kalimat terakhir itu diucapkan dalam getaran yang maha.
Aku yang saksikan nyaris pingsan
Perempuan Bardiyem memegang tangan saminya.
‘Pangapurane ya Pak…’
Aku tahu persis, lelaki itu telah tak kuat menahan air mata.
Tapi tetap saja berusaha tegar.
‘Yoh….pada-pada ya Mbok…aku ya njaluk ngapura..’
Aku beringsut pergi.
Ke kamar mandi, menumpahkan segala sesak.
Ketika kembali ke pendapa, perempuan Bardiyem terlihat memejam mata.
Lelaki Harjo Sayoto ngelus-elus tangan dan sesekali memegang kening istrinya.
‘Saiki ayo pada turu..wis wengi…’
Demikianlah, sampai akhirnya lelaki Harjo Sayoto terguguk di sisi istrinya.
Aku mendekat…
‘Mbokmu wis mulih Nduk, aja nangis’
Ini kali pertama aku mbadal dawuh bapak untuk tidak menangis.
Tangisku pecah….terlebih saat melihat damainya wajah ibu, simbokku.
Dengan gemetar lelaki Harjo Sayoto nglurupi jenazah istrinya.
Perempuan yang hampir 55 tahun menemani hidupnya.
Perempuan yang benar telah jadi bagian hidup, belahan jiwa!
Separuh jiwanya pergi.
…………………….
Esoknya ia tampak gagah.
Kenakan sarung batik kesukaan istrinya, berbeskap krem dan blangkon,
Ia salami para pelayat.
Ia penuhi janji mengantar istrinya dengan bahagia.
Tapi sesungguhnya dia berdusta.
Saat jenazah hendak diberangkatkan.
Wajahnya pasi, tangannya dingin, air matanya  jatuh juga.
Aku peluk erat lelaki hebatku itu.
…………………
Inilah  pernikahan.
Berpisah oleh kematian.
Dan dalam masa tunggu itu tentu ada derak-derak yang warnai.
Cinta, kasih, selisih paham, tengkar, dan apapun.
Berdarah-darah, tapi darah itu yang menyuburkan, menguatkan akar.
Akar yang tak bisa tercerabut. Oleh apapun. Termasuk kematian.
Dua tahun kemudian, akhirnya lelaki Harjo Sayoto dijemput isterinya.
Masa penantian yang panjang.
Selama 2 tahun itu aku menemani.
Saban malam terbangun, salat dan selalu menangis.
Meski di setiap kamis sore mereka kencan dengan bunga segar di makam.
Toh itu tak cukup untuk urai sebuah kerinduan.
‘Aku kangen mbokmu Nduk…mau bengi diimpeni’
Kalimat itu diucapkan 2 hari menjelang ibu menjemput.
Hari itu Minggu Kliwon, 28 Juli 2002, mereka kembali bersama.
Yah akulah saksi mereka.
Menanam, merawat, membesarkan, dan menjaga sebuah katresnan.
Butuh ketahanan, keikhlasan, dan penerimaan.
………………………………..
Maka, ketika Pakdhe  sampaikan hendak menikah lagi,
Aku bisa pahami.
Rawatan katresnan setelah perpisahan itu,
hanya diperuntukkan pada orang-orang pilihan.
#Memori_Bardiyem_Harjo-Sayoto



0 comments:

Post a Comment