#Katresnan
Baru saja lelaki baya
itu pamit.
Aku masih terpana
dengan apa yang disampaikan.
‘Benjang Sabtu kula
badhe nikah, Bulik…’ katanya riang.
Sembari sembunyikan
keterkejutan, santun aku sampaikan,
‘Alhamdulillah, nderek
bingah , Pakdhe.’
‘Benjang Om kalian
Bulik kula suwun ngetaraken’
‘Insya allah,
Pakdhe…mangke kula derekaken.’
Kemudian percakapan
merembet pada acara dan persiapan nikah.
Lelaki baya itu,
memutuskan Nikah lagi setelah isterinya meninggal.
Sejenak aku tercenung.
Ya…menikah di usia senja.
Aku berusaha pahami.
Pernikahan ini barangkali tak sekadar urusan cinta.
Kesenjaan bagi
sementara orang acap dekat dengan sepi.
Saat anak-anak telah
berumah tangga, jauh dari rumah,
kesehatan mulai turun,
Pasti terasa sekali kesendirian itu.
Menjadi wajar kalau
akhirnya butuh teman.
Barangkali itulah yang
dirasai Pakdhe, hingga putuskan untuk menikah lagi.
…………………………………..
Tiba-tiba lelaki dan
perempuan sepuhku seperti hadir.
Simbok dan Bapak.
Simbok yang perempuan
Bardiyem.
Bapak yang lelaki
Harjo Sayoto.
Masih segar dalam
ingatan.
Bagaimana lelaki Harjo
Sayoto itu demikian setia
tunggui perempuan Bardiyem yang sakit.
Setiap hari rajin
mijeti, rengeng-rengeng, dan bahkan bercanda di pendapa rumah kami.
Mereka memutuskan
tidak tidur di kamar. Sumpek katanya.
Di pendapa
itulah…sambih pijetan mereka mengenang masa rekasa-nya.
Dalam sakitnya yang
makin parah,
perempuan Bardiyem itu
memaksakan tersenyum oleh candaan suaminya.
‘La kowe ki piye to
Sri…wayah bocah-bocah wis mapan kok malah lara’
‘Sri’ adalah sebutan
sayang mereka. Dan itu adalah nama kakak tertuaku.
Dalam keseharian,
mereka saling sapa dengan sebutan Mbokne Sri dan Pakne Sri.
Hingga suatu saat…
Kala perempuan Bardiyem membisikkan sesuatu,
‘Paak…aku wis ora
kuat….’
Lelaki Harjo Sayoto duduk
di sisi ranjang sejurus dengan kepala istrinya.
Ditatap lembut mata
sayu ibu dari 11 anaknya.
Pelang diusap rambut dan lembut dicium keningnya.
Dibisiknya
kalimat…yang sampai kini membuatku meriding.
‘Atine ditata ya…awake
dewe wis tuntas ngentaske bocah-bocah.’
Perempuan Bardiyem
mengangguk lemah, tersenyum tipis.
‘Aku wis iklas…..’
Kalimat terakhir itu
diucapkan dalam getaran yang maha.
Aku yang saksikan
nyaris pingsan
Perempuan Bardiyem
memegang tangan saminya.
‘Pangapurane ya Pak…’
Aku tahu persis,
lelaki itu telah tak kuat menahan air mata.
Tapi tetap saja
berusaha tegar.
‘Yoh….pada-pada ya
Mbok…aku ya njaluk ngapura..’
Aku beringsut pergi.
Ke kamar mandi, menumpahkan segala sesak.
Ketika kembali ke pendapa, perempuan Bardiyem terlihat memejam mata.
Lelaki Harjo Sayoto ngelus-elus tangan dan sesekali memegang kening
istrinya.
‘Saiki ayo pada turu..wis wengi…’
Demikianlah, sampai akhirnya lelaki Harjo Sayoto terguguk di sisi
istrinya.
Aku mendekat…
‘Mbokmu wis mulih Nduk, aja nangis’
Ini kali pertama aku mbadal dawuh bapak untuk tidak menangis.
Tangisku pecah….terlebih saat melihat damainya wajah ibu, simbokku.
Dengan gemetar lelaki Harjo Sayoto nglurupi jenazah istrinya.
Perempuan yang hampir 55 tahun menemani hidupnya.
Perempuan yang benar telah jadi bagian hidup, belahan jiwa!
Separuh jiwanya pergi.
…………………….
Esoknya ia tampak gagah.
Kenakan sarung batik kesukaan istrinya, berbeskap krem dan blangkon,
Ia salami para pelayat.
Ia penuhi janji mengantar istrinya dengan bahagia.
Tapi sesungguhnya dia berdusta.
Saat jenazah hendak diberangkatkan.
Wajahnya pasi, tangannya dingin, air matanya jatuh juga.
Aku peluk erat lelaki hebatku itu.
…………………
Inilah pernikahan.
Berpisah oleh kematian.
Dan dalam masa tunggu itu tentu ada derak-derak yang warnai.
Cinta, kasih, selisih paham, tengkar, dan apapun.
Berdarah-darah, tapi darah itu yang menyuburkan, menguatkan akar.
Akar yang tak bisa tercerabut. Oleh apapun. Termasuk kematian.
Dua tahun kemudian, akhirnya lelaki Harjo Sayoto dijemput isterinya.
Masa penantian yang panjang.
Selama 2 tahun itu aku menemani.
Saban malam terbangun, salat dan selalu menangis.
Meski di setiap kamis sore mereka kencan dengan bunga segar di makam.
Toh itu tak cukup untuk urai sebuah kerinduan.
‘Aku kangen mbokmu Nduk…mau bengi diimpeni’
Kalimat itu diucapkan 2 hari menjelang ibu menjemput.
Hari itu Minggu Kliwon, 28 Juli 2002, mereka kembali bersama.
Yah akulah saksi mereka.
Menanam, merawat, membesarkan, dan menjaga sebuah katresnan.
Butuh ketahanan, keikhlasan, dan penerimaan.
………………………………..
Maka, ketika Pakdhe sampaikan
hendak menikah lagi,
Aku bisa pahami.
Rawatan katresnan setelah perpisahan itu,
hanya diperuntukkan pada orang-orang pilihan.
#Memori_Bardiyem_Harjo-Sayoto
0 comments:
Post a Comment