Sunday, May 1, 2016

Mbah Giyo... arif tanpa limit


Mbah Giyo
Jadi begini…
Terhitung sejak tadi malam kami tinggal berdua,
Kebetulan suami ada pekerjaan di Surabaya.
Seperti biasa, kalau ditinggal suami aku tidur di kamar gendhuk.
Jam Sembilan aku berangkat tidur.
Lepas jam 12 aku bangun, rutinitas ngetik.
Aku ke meja kerja  kamar belakang.
Letak rumahku itu,  diapit makam besar.
Kalau buka pintu dapur dan lalu tengok ke kanan,
terpapanglah deret kuburan, hanya 10 meter jaraknya.
Nah, sebelah timur rumah, cukup jalan 5 menit juga makam besar.
Mengerikan??? Ga juga.
Kami seperti telah bersahabat…
Dan ‘mereka’ bahkan seperti memberi tanda ketika bakal ada orang ‘berpulang’.
Yang paling bisa paham akan tanda itu, salah satunya Make.
Aku tidak.
Kata Make (pengasuh anakku itu) bila lepas tengah malam terdengar suara ‘bug’ seperti suara kelapa jatuh disertai desau angin yang sembribit,
esoknya pasti masjid umumkan kematian.

Di belakang rumahku masih ada satu rumah, setelahnya kali besar dan dalam.
Model kali itu seperti jurang, kalau lagi banjir gemuruh airnya terdengar sampai rumah.
Agak-agak gimana gitu, tapi sensasinya hmmm…
Jalan menuju kali masih terdapat banyak rumpun bambu  yang sihat.
Banyangkan kalau malam hari, pas sepi, ada angin menderak…
Gesekan daun bambu yang …kreseeeek, kresekkk,
dan batang bambu yang krengkeeet…krengkeet, pasti membuat bulu kuduk berdiri.
Wis kaya pilem-pilem horror lah.
Dan kebetulan juga, di lingkunganku itu banyak rumah kuna yang tak berpenghuni.
Kalau pun ada, yang menghuni sudah sangat manula.
Pun belakang rumahku itu. Rumah besar, pinggir kali, dikelilingi rumpun bamboo dan makam.
Rumah itu milik Mbah Giyo.
Pemilik rumah sudah kuanggap orang tuaku. Kami sangat akrab.
Karena sudah sepuh, mbah Giyo dan istri, ditemani cucu dan cicitnya.
Ada yang menarik dari Mbah Giyo. Orangnya polos, jujur, dan njawani.
Perkara ke-jawaan, dia jagonya.
Anak-anak lingkunganku kalau ada Pe Er nulis jawa, larinya ke mbah Giyo…termasuk anakku. Aku juga pernah diajari ning ora iso-iso.
Bab nembang, yang mocopat dan teman-temannya, mbah Giyo jago juga.
Setiap pagi dan sore sembari ngeteh di teras rumah, selalu rengeng-rengeng.
Kadang Dhandhangula, megathruh, dan yang paling sering kudengar Mijil.

Nah…
Tadi malam, lepas jam 12 aku tik tok.
Belakang rumah kok gemuruh.
Aku buka jendela….ternyata temen-temen cucu mbah Giyo -yang pengawai PLN-
 kumpul ambil alat.
Ketika kutanya,  katanya ada trafo yang terbakar.
Wah lumayan ini ada teman melek.
Jendela tetap kubiarkan terbuka.
Sebelum mulai ngetik aku sempat tengok ke kanan, dan lihat temaram kuburan.
Bulan memang masih malu-malu.
Sesaat aku tenggelam ngetik.
Situasi luar dah ga begitu kuperhatikan.
Sampai akhirnya sepi kembali.

Aku dengar mbah Giyo rengeng-rengeng dhangdhangula-an.
‘Dedalane wong akrami…
 Dudu bandha duru rupa
 Among ati pawitane….
……’

Aku hentikan kegiatannku, menikmati suara mbah Giyo.
Tembang itu memang filosofinya tinggi.
Ah…tiba-tiba keingetan almarhum bapak.
Dulu pernah bilang begini…
‘Golek bojo kuwi rak perlu bagus, ning nek dijak nyumbang ya aja ngisin isini..’
(mencari suami itu tak perlu ganteng, tapi kalau digandheng di resepsian, ya jangan memalukan)
Intinya ora bagus ora apa-apa, ning bisa dipamerkan…he..he…
Syarat yang akhirnya bisa tak penuhi.

Sesaat setelah usai dhandhangula…
Suasana timtrim sepi..
Jendela masih terbuka.
Tak lama…
Terdengar lagi rengeng-rengengnya.
Megatruhan…terasa menyayat.
Kenapa mbah Giyo begini sedih ya..
Apa gerah lagi?

Aku tengok keluar.
Tampak mbah giyo duduk slonjor di kursi panjang.
Tidak begitu jelas karena lampunya hanya temaram.
‘Pun dalu kok dereng sare, Mbah?’
Tak ada jawaban.
Barangkali ga dengar, karena pendengarannya memang telah jauh berkurang.

Oleh karena makin sembribit jendela aku tutup.
Pas mak krekep…
Kok ada yang memanggil
‘Nduk….’ Lirih sekali.
Tanpa prasangka, aku buka lagi jendelanya.
Kupikir mbah Giya  yang panggil.
Tak tengok, kursi sudah kosong.
Kututup lagi jendela, dan aku lanjutkan ngetik.

Pagi tadi, kutanyakan pada cucunya.
‘Kok mbahe lenggah neng ngarep nganti wengi to nduk?’
‘Sinten Mbak?’
‘Yo Mbah Giyo to, nduk?’
‘Mboten Mbak…wong Mbahe radi gerah…bibar isya’ pun sare’

Deg…
Berdiri bulu kudukku,     mrinding…
La tadi malam sing rengeng-rengeng sapa?
Sing lungguh slonjor ning kursi?????

Malah semrepet aku.
Padahal lima hari ke depan suami baru pulang.
Njur sapa iki sing arep ngancani??????





1 comment:

  1. waduh ... saya kok gegremetan eh gemetaran buk maos tulisan njenengan .... ada manis2 nya namun diakhir mendadak sepat dan ingin segera cari minum heeee serem

    pp.adnan al charish bojonegoro

    ReplyDelete